Disusun oleh: Rizqi Nurjannah
Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Makhluk yang Allah SWT sempurnakan dalam penciptaannya. Allah SWT telah mengutus manusia di dunia ini untuk senantiasa memakmurkan dunia, sehingga terciptalah kehidupan. Harus kita sadari bahwa sifat manusia itu mencakup dua sisi, yaitu sisi baik (sebagaimana mewarisi sifat malaikat) dan sisi buruk (sebagaimana mewarisi sifat setan yang suka membangkang). Apabila manusia mengikuti sifat malaikat, maka ia berpotensi untuk menjadi makhluk terbaik di sisi Allah SWT, namun sebaliknya jika ia mewarisi sifat setan maka ia berpotensi lebih buruk dari hewan sekalipun.
Pada tulisan ini, penulis akan memaparkan satu sifat terbesar yang dimiliki oleh sebagian besar manusia. Dia adalah sifat suka mengeluh (gelisah) dan kikir, sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam surat Al-Ma’arij (70):19 berikut :
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21)
Artinya:“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19) Apabila ia ditimpa musibah, ia berkeluh kesah (20) dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir (21)”
Ayat di atas telah memberikan peringatan kepada manusia akan sifat yang telah dibawa semenjak ia diciptakan. Manusia kebanyakan berkeluh kesah ketika mendapatkan musibah, dan kikir ketika mendapatkan nikmat baik dalam menjalankan hak orang lain maupun hak Allah SWT. Kemudian, Allh SWT mengecualikan sebagian orang yang dapat terlepas dari bahaya sifat ini. Mereka disebutkan dalam surat Al-Ma’arij (70): 22-34 berikut:
إِلَّا الْمُصَلِّينَ (22) الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (23) وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (24) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (25) وَالَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ (26) وَالَّذِينَ هُمْ مِنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (27) إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُونٍ (28) وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (29) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (30) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (31) وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (32) وَالَّذِينَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ (33) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (34)
Artinya:“kecuali orang-orang yang mendirikan shalat (22) (yaitu) mereka yang setia mendirikan shalat (23) dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu (24) bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta (25) dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, (26) dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya, (27) sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka, tidak ada seseorang yang merasa aman (dari kedatangannya) (28) dan orang-orang yang memelihara kemaluannya (29) kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. (30) Maka barangsiapa mencari di luar itu (seperti zina, homoseks, dan lesbian), mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (31) Dan orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya (32) dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya (33) dan orang-orang yang memelihara shalatnya. (34).”
Adapun penjelasan sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mendirikan shalat
Orang-orang yang mendirikan shalat yang dijauhkan dari sifat gelisah dan kikir adalah orang yang mendirikan shalat secara tetap (continyu/ berkelanjutan), dan tepat pada waktunya. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa orang yang mendirikan shalat dengan khusyu’ dan penuh ketundukan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mu’minun (23): 1-2 berikut:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)
Artinya:“Sungguh beruntunglah orang-orang mu’min (1) (yaitu) mereka yang khusyu’ dalam shalatnya. (2)”
Orang yang mengerjakan shalat secara kontinyu itu termasuk orang yang melaksanakan suatu amalan dengan kontinyu. Amalan yang demikian adalah amalan yang dicintai Allah SWT, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Artinya:
Dari ‘Aisyah dari Nabi SAW berkata: “Sebaik-baik amal kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu yang berkesinambungan meskipun sedikit.” [HR. Muslim]
Jika hadits tersebut dikaitkan dengan orang-orang yang mendirikan shalat adalah seorang yang selalu menjaga shalat wajibnya dan tidak pernah meninggalkannya. Selain itu, mereka juga menjaga waktu-waktu shalat (dengan shalat tepat waktu), menjaga kewajiban dan rukun shalat. Keutamaan shalat dibanding dengan kewajiban lainnya itu tercermin pada penyebutan shalat sebanyak dua kali, yaitu pada awal uraian (pada ayat 23) dan akhir uraian (pada ayat 34).
2. Menyedekahkan harta
Orang-orang yang dikecualikan dari orang yang gelisah dan kikir berikutnya adalah orang yang menetapkan sebagian hartanya untuk orang-orang yang berhak (orang miskin) baik ia meminta maupun tidak meminta. Hal ini telah dijelaskan dalam surat Adz-Dzariyat (51): 19 berikut:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Artinya:“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta dan orang-orang yang tidak menerima bahagian.”
3. Mempercayai hari pembalasan dan Takut terhadap adzab Allah SWT
Selanjutnya adalah orang yang mempercayai akan datangnya hari pembalasan. Mereka adalah orang-orang yang takut atas adzab Allah SWT. Mereka melakukan suatu amalan kebaikan, namun mereka merasa cemas jika amalan tersebut tidak diterima oleh Allah SWT. Mereka senantiasa berharap untuk mendapatkan ampunan dan dijauhkan dari adzab yang Allah SWT siapkan. Apalagi Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak seorang pun yang masuk surga karena amalanya.” Para sahabat bertanya: “Walaupun engkau wahai Rasul?” beliau menjawab: “Walau aku! Kecuali jika Allah SWT melimpahkan rahmatNya kepadaku” [HR. Bukhari dan Muslim]
Oleh karena itu, hendaknya kita tidak merasa aman dari siksa Allah SWT. Sayyidina Umar ra pernah berkata: “Seandainya ada pengumunan bahwa yang masuk neraka hanya seseorang, maka aku khawatir akulah dia”. Begitulah rasa takut yang dimiliki oleh orang-orang shaleh. Rasa takut yang menimbulkan seseorang menjadi semangat dalam melakukan kebaikan.
4. Menjaga Kemaluan
Kemudian, Allah SWT menyebutkan orang-orang yang menjaga kemaluan dari hal-hal yang haram. Selain itu, mereka juga hanya melakukan hubungan kelamin dengan orang-orang yang dihalalkan bagi mereka. Hal ini juga disebutkan dalam surat Al-Mu’minun (23): 5-7
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
Artinya:“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka (5), kecuali kepada istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.(6) Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, homoseks, lesbi) maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.(7)”
Pada akhir-akhir ini, jika ada aliran yang menyatakan bahwa zina, homo, dan lesbi itu hal biasa maka itu adalah hal yang melampaui batas yang tidak diridhai Allah SWT. Seharusnya setiap muslim merasa resah dan gelisah pada kemaksiatan yang kini telah tersebar luas tanpa adanya rasa malu, bahkan ada yang melandaskan pada simbol-simbol agama. Hendaknya kita waspada terhadap pemikiran yang demikian.
5. Menepati janji dan amanah
Sifat orang mu’min berikutnya adalah menepati janji dan menjaga amanah. Apabila mereka diberi amanah, maka mereka akan menjaga dan menjalankannya dengan baik, dan jika mereka berjanji maka mereka akan menepatinya. Sifat ini bertolak belakang dengan sifat orang-orang mkunafik. Tiga sifat orang munafik telah dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW adalah jika berkata dusta, jika berjanji maka ia menyelisihi, dan jika diberi amanah maka mereka berkhianat. Semoga kita terhindar dari sifat demikian.
Quraish Shihab menerangkan hal yang tersembunyi dari ayat 32 ini. Hal itu adalah bahwa Allah SWT menggunakan penyebutan kata amanah dengan bentuk jama’ dan perjanjian (‘ahd) dengan bentuk tunggal karena amanah itu beraneka ragam, yaitu antara manusia dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, dengan lingkungan, dengan diri sendiri, bahkan setiap yang Allah SWT anygrahkan kepada manusia adalah sebuah amanah. Sedangkan perjanjian itu tidak serinci itu.
6. Berpegang teguh pada kesaksiannya
Sifat yang disebutkan selanjutnya adalah orang-orang yang menjaga diri persaksiannya, mereka tidak menambahi atau mengurangi persaksian atau bahkan menyembunyikannya. Allah SWT menerangkan akibat dari menyembunyikan persaksian dalam surat Al-Baqarah (2): 283 berikut:
…وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“… Dan barang siapa menyembunyikan (persaksian), maka sesungguhnya hatinya kotor (berdosa). Allah SWT Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”Semua sifat-sifat tersebut, jika dimiliki oleh seorang muslim maka ia akan menjadi orang yang terhindar dari sifat gelisah dan kikir. Mereka akan mendapatkan balasan surga yang dimuliakan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Ma’arij (70): 35 berikut:
أُولَئِكَ فِي جَنَّاتٍ مُكْرَمُونَ
Artinya:“Mereka itu di dalam surga yang dimuliakan”
Demikianlah penulis memaparkan beberapa sifat terbesar manusia. Semoga kita sebagai kaum muslimin hendaknya memperhatikannya dan berusaha untuk menjauhkan diri dari sifat tebesar ini dan berpindah pada sifat-sifat pengecualian yang disebutkan dalam ayat 22-34.
Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar