Selasa, 17 Januari 2012

Tentang Keimanan

SAAT HATI MULAI TAK PERCAYA....
Sebuah rasa yang tak pernah dirasakan oleh orang non Islam adalah indahnya dan manisnya iman. Kemanisan iman dapat dirasakan oleh orang yang benar-benar beriman. Siapakah mereka? Mereka adalah orang yang meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan Semesta Alam yang pantas untuk disembah, dan mengucapkan keyakinan tersebut dalam lisan dengan wujud syahadat (persaksian bahwa Allah SWT Tuhan Yang Esa) dan diamalkan dalam perbuatan (amalan keseharian). Namun, kita sebagai orang yang mengaku iman sejak lahir, apakah kita telah iman sebenar-benarnya? Mari kita renungkan kisah seorang mahasiswa yang telah mengalang buana ke negeri orang untuk menuntut ilmu.
Kala seorang anak yang telah lama meninggalkan kampung halamannya kembali ke rumah orang tuanya, anak yang kini telah menjadi seorang sarjana lulusan luar negeri mengadukan keadaan dirinya pada ayahnya,
“Ayah, aku sekarang tak lagi shalat, karena aku ga percaya lagi adanya Allah. Bagaimana aku percaya, keberadaanNya pun tak aku rasakan. Lalu aku juga tak percaya lagi dengan adanya neraka. Masa neraka diisi oleh syetan yang terbuat dari api juga. Lalu aku juga tak percaya dengan adanya takdir. Karena semua yang telah kita raih itu adalah hasil jerih payah kita sendiri.”
Ayahnya terpana, kaget, marah tak karuan dalam hatinya. Namun ia urungkan niatnya untuk menampar putera yang selama ini ia harapkan dapat menjadi orang yang benar-benar beriman justru melenceng jauh dari kebenaran islam. Lalu, ayah pun menanyakan kepada anaknya, “nak, lalu apa yang kau mau sekarang?”
“Yang aku butuhkan sekarang, ada ustadz yang mampu menjawab beberapa pertanyaan dariku yang selama ini aku tak dapat menjawabnya. Kata profesorku, kita tak lagi butuh Allah karena ia tak dapat dirasakan”
Ayahnya antusias melihat jawaban anaknya yang mulai menampakkan wajahnya yang telah dewasa. Dan ia pun menyanggupi untuk membantunya mencarikan ustadz yang dapat menjawab pertanyaannya.
“Baiklah, ayah akan mencarikan untukmu.”
Berhari-hari ayah mencari namun sulit sekali mencari ustadz yang mau menjawab beberapa pertanyaan dari anaknya. Akhirnya, ia memperolehnya juga.. Sungguh ayahnya sangat berharap agar anaknya dapat kembali kepada jalan iman yang lurus kembali. Tak lama kemudian, ia membawa ustadz tersebut ke rumah dan mempertemukannya dengan anaknya.
Awal bertemu, ustadz tersebut hanya diam dan menanyakan kabar dengan wajah yang menyejukkan layaknya problem solver yang berada di depan orang yang bermasalah. Hingga akhirnya sang anak menyatakan pertanyaannya bertubi-tubi dengan sedikit congkak.
“Ustadz, mengapa kita masih percaya dengan Allah? Padahal selama ini, aku tak dapat merasakan apapun ketika namaNya disebutkan dan ketika namaNya disinggung-singgung dalam pembicaraan sehari-hari? Aku juga tak lagi percaya dengan neraka yang berpenghuni setan. Padahal setan itu terbuat dari api yang menyala. Artinya naar adalah api juga, mengapa berpenghunikan setan yang berasal dari api juga? Lalu, aku juga tak percaya takdir, karena semua yang kita dapatkan itu semata-mata hasil dari jerih payah kita kan?”
Belum sempat menghembuskan nafas kelegaan, anak tersebut langsung meringis kesakitan karena ditampar oleh ustadz yang sedari tadi memperhatikan pertanyaan-pertanyaannya. Lalu ustadz itu mengajaknya berdialog,
“Apa yang kau rasakan nak?” tanya ustadz dengan tenang.
“Sakit...” jawab anak tersebut sambil memegangi pipinya yang merah bekas tamparan ustadz.
“kau melihat rasa sakit itu?” Ustadz melanjutkan pertanyaannya.
“Tidak” anak itu menjawab dengan sedikit memicingkan matanya pada ustadz yang seolah tak merasa bersalah dengan kesalahannya yang telah menamparnya.
“Nah, itulah. Walaupun kau tak melihat rasa sakit tersebut tapi kau dapat merasakan sakitnya. Begitulah Allah, walaupun Dia tak tampak namun Ia dapat dirasakan dalam kehidupan” Ustadz mulai menerangkan kaitannya dengan hikmah yang ada dalam prinsip iman.
“Terbuat dari apakah pipimu?” ustadz terus melanjutkan pertanyaannya.
“Kata orang sih dari tanah...” mendengar jawaban tersebut, ustadz hanya menghela nafas dan membenahi pertanyaannya agar mudah difahami “Bukan itu, yang nyata sekarang pipimu terbuat dari apa?”
Lalu, ia pun langsung menjawab “Dari kulit...”
“Nah, tangan saya dari apa?” ustadz menanyakan lagi.
“Dari kulit” anak tersebut langsung menjawab.
“Nah itu, walaupun sama-sama kulit. Tapi kau dapat merasakan sakit ketika keduanya bertemu. Begitulah neraka yang terbuat dari api dan setan yang berasal dari api juga menjadi penghuninya. Disana juga dapat menyakitkan.” Ustad mulai menerangkan jawabannya pada pertanyaan yang kedua.
“Lalu, apa kau tadi malam bermimpi dirimu akan ditampar olehku sekarang?” ustadz seolah menyelidik diri anak tersebut terus menerus dengan bertubi-tubinya pertanyaan. Namun anak tersebut tak menampakkan kejemuan, karena ia semakin penasaran dengan penjelasan ustadz
“Aku Tidak bermimpi!?” Anak itu hanya menjawab dengan mengerutkan matanya hingga terlihat lipatan diantara kedua matanya.
“Nah, itulah yang dinamakan takdir. Allah telah menetapkan semua yang ada di dunia ini, Dialah yang maha Mengetahui segala yang akan terjadi dimasa yang akan datang.” Begitulah dialog mereka pada siang itu.
Anak tersebut pun mulai tertunduk, hatinya mulai terobati dengan terjawabnya pertanyaan prinsip yang selama ini mengganjal hatinya. Pertanyaan yang sempat menjauhkan dirinya dari allah SWT. Sehingga ia pun mulai sadar dan bertaubat dan mengikutkan diri sebagai anggota organisasi yang berjuang di bidang keislaman di masjid dekat rumahnya.
Sungguh, hidayah itu sangatlah mahal. Namun kita dapat mendapatkannya jika kita ber’azam untuk mendapatkannya. Dan marilah kita memohon pada Ilahi agar senantiasa diberikan petunjukNya yang Lurus... Amiin
The inspired: Mas Anis (ketua Assalam) yang disampaikan pada pertemuan perdana bidang dakwah di Masjid Sirathal Mustaqim, Ngebel. Ahad, 15 januari 2012 H/ 21 Safar 1433 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...