Sabtu, 23 Oktober 2010

KITAB SHIYAM

DALAM SYARH BULUGHUL MARAM {SUBULUS SALAM}
Pengertian Shiyam
Shiyam menurut bahasa berarti menahan. Sedangkan menurut istilah adalah menahan dari makan, minum, jima’, dan segala hal yang dilarang syari’at pada siang hari (seperti omong kosong dan berkata keji). Shiyam mulai disyari’atkan pada tahun ke-2 H.
Shiyam Terlarang
-608عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - " لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ " مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Abu Huroirah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari kecuali seorang yang terbiasa puasa maka tidak mengapa ia berpuasa” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dari hadits diatas, terdapat dalil bahwa melaksanakan shiyam sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan adalah haram, kecuali bagi orang yang telah terbiasa melaksanakan shiyam sunnah, nadzar, atau yang semisalnya. Sehingga orang yang tetap melaksanakan siyam sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah termasuk orang yang mengingkari sunnah.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa salah satu tujuan adanya pembatasan ini adalah untuk mewajibkan seseorang supaya ia lebih mendahulukan siyam Ramadhan dengan siyam apa saja. Hal itu menyelisihi dhahirnya larangan karena sesungguhnya puasa itu umum, tidak ada pengecualian selain siyamnya orang yang menyengaja pada hari-hari yang telah ditentukan, serta akhir bulan sya’ban. Dengan pembatasan pada hadits ini, sungguh Nabi hanyalah melarang siyam pada permulaan bulan Ramadhan karena Allah SWT telah menetapkan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat bulan (ru’yatul hilal). Sehingga seorang yang tetap melakukan siyam sebelum bulan Ramadhan (akhir bulan Sya’ban) selain puasa sunnah yang biasa ia lakukan termasuk orang yang menyelisihi perintah dan larangan dalam nash Al-Qur’an maupun hadits. Hal ini disampaikan oleh pengarang kitab Subulus Salam.
Dalam hadits tersebut, terdapat pembatalan bagi pendapat yang dikerjakan kaum Bathiniyah yang menganggap harus siyam pada permulaan Ramadhan sebagai ta’dzim pada bulan Ramadhan.
Sebagian ‘ulama juga berpendapat bahwa adanya larangan melaksanakan siyam setelah ½ bulan pertama dari bulan Sya’ban (hari ke-16 bulan Sya’ban). Hal tersebut karena hadits Abu Hurairah yang marfu’: إذا انتصف شعبان فلا تصوموا “apabila telah mencapai bulan Sya’ban maka janganlah kamu berpuasa” (HR. Ashabus-sunan dan selain mereka) Dari hadits tersebut, ada beberapa pendapat:
1. Dikatakan bahwa: Dimakruhkan siyam setelah mencapai pertengahan sya’ban dan diharamkan siyam 1 atau 2 hari sebelum Ramadhan.
2. ‘Ulama yang lain membolehkan siyam ketika telah mencapai pertengahan bulan Sya’ban dan mengharamkan siyam 1 atau 2 hari sebelum Ramadhan.
Adapun bolehnya yang pertama adalah asal dan haditsnya Abu Hurairah itu dha’if. Ahmad dan ibnu Mu’in pernah berkata bahwa hadits tersebut diingkari, dan pengharaman yang kedua itu karena hadits pada bab ini.
-609وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ - رضي الله عنه - قَالَ: " مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ - صلى الله عليه وسلم - " وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
Dari ‘Amar bin yasir r.a berkata: “barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan didalamnya maka sungguh ia telah durhaka kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW)” dan Imam Bukhori telah menyebutkan hadits ini sebagai komentar, Imam yang 5 telah menyampaikan hadits ini, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban telah menshahihkan hadits ini.
Ada 2 redaksi yang sedikit berbeda dalam meriwayatkan hadits ini:
1. Diriwayatkan dari ‘Amr bin Yasir :
وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ - رضي الله عنه - قَالَ: " مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ - صلى الله عليه وسلم
2. Diriwayatkan melalui jalan ‘Amr bin Qais dari Abi Ishaq (tambahan dari pengarang kitab ini / Muhammad bin Ismail As-Sun’ani yang telah ditambahkan dalam kitab Fathul Bari’) :
كنا عند عمار بن ياسر فأتي بشاة مصلية فقال كلوا فتنحى بعض القوم فقال إني صائم فقال عمار من صام اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ - صلى الله عليه وسلم
Kami berada disisi ‘Amr bin Yasir lalu ia datang dengan membawa kambing guling lalu ia (‘Amr bin Yasir) berkata, “Makanlah oleh kalian” lalu sebagian mereka (dari kelompok tersebut) menjauh/ menghindar dari makanan lalu salah seorang mereka berkata, “sesungguhnya aku sedang siyam” maka ‘Amr pun berkata, “barangsiapa berpuasa pada syak maka sungguh ia telah durhaka kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW)”
Imam yang lima (Khomsah) telah meriwayatkan hadits tersebut dan dishohihkan oleh Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban.
Ibnu ‘Abdil bari juga telah berkata: “Hadits tersebut adalah hadits yang disandarkan disisi mereka dan mereka tak berselisih akannya.”
Hadits tersebut merupakan hadits mauquf secara lafadz dan marfu’ secara hukum, dan maknanya semakna dengan hadits-hadits yang melarang siyam untuk menyambut bulan ramadhan dan yang memerintahkan siyam karena melihat hilal.
Ketahuilah!!
Hari yang meragukan (Yaum al-Syak) : Hari ke-30 di bulan Sya’ban ketika hilal tidak terlihat karena mendung/ selainnya. Jika terlihat hilal maka esok hari telah memasuki Ramadhan, namun jika belum terlihat maka menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari}.
Imam Syafi’I telah bermadzhab bahwa haram siyam dihari Syak, namun diantara para sahabat ada yang berselisih pendapat :
a. Boleh
b. Haram, dan orang yang melanggar termasuk kalangan orang yang durhaka.
Adapun perkataan yang telah disampaikan Syafi’I dari Fathimah binti Husain bahwasannya Ali a.s telah berkata, “karena sesungguhnya siyam sehari dibulan Sya’ban itu lebih aku sukai dari pada berbuka sehari pada bulan Ramadlan” itu merupakan atsar yang terputus bahwa hari itu bukan hari syak, bahkan setelah ada seseorang menyaksikan hilal lalu ia berpuasa dan menyuruh manusia untuk siyam dan berkata.
Dan termasuk nash pada bab ini, haditsnya Ibnu Abbas:
"فإن حال بينكم وبينه سحاب فأكملوا العدة ثلاثين ولا تستقبلوا الشهر استقبالا"
“maka sesungguhnya keadaan diantara kalian dan diantara langit itu terdapat awan maka sempurnakanlah oleh kalian menjadi bilangan 30 dan janganlah kalian menyambut bulan Ramadhan dengan penyambutan yang berlebih-lebihan (puasa yang tiada tuntunan) ” {Riwayat Ahmad, para pemilik sunan, Ibnu Huzaimah, dan abu Ya’la}
Sedangkan lafadz dari Thoyalusi adalah
"ولا تستقبلوا رمضان بيوم من شعبان"
“dan janganlah kalian menyambut bulan Ramadlan dengan siyam satu hari dibulan Sya’ban” {HR. Daruquthni dan dishohihkan oleh Abu Huzaimah}
Dan hadits Abu Daud dari ‘Aisyah r.a
"كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتحفظ من شعبان ما لا يتحفظ من غيره يصوم لرؤية الهلال"
“Rasulullah SAW adalah orang yang berhati-hati pada bulan sya’ban akan sesuatu yang tidak berhati-hati terhadap selainnya, beliau siyam karena tampaknya hilal ” {yaitu hilal Ramadhan, maka jika terhalang maka Nabi menghitung 30 hari Sya’ban kemudian esok hari siyam }
Hadits Abu Daud dari hadits Hudzaifah yang marfu’
"لا تقدموا الشهر حتى تروا الهلال أو تكملوا العدة ثم صوموا حتى تروا الهلال أو تكملوا العدة"
Dan dalam bab ini, banyak hadits yang menjelaskan akan keharaman berpuasa pada hari syak. Sebagaimana hadist selanjutnya dalam kitab ini.
Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan
-610وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا [ قَالَ ]: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ: " إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ " مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَلِمُسْلِمٍ: " فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ ثَلَاثِينَ "
وَلِلْبُخَارِيِّ: " فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ "
Artinya: Dan dari Ibnu Umar r.a berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kalian melihat (hilal) maka berpuasalah dan apabila kalian melihat (hilal) maka berbukalah, maka jika mendung maka tetapkanlah baginya” (Muttafaq ‘alaih)
Dan dalam riwayat Muslim: “Dan jika mendung maka tetapkanlah 30 hari”
Dan dalam riwayat Bukhori: “Maka sempurnakanlah oleh kalian menjadi 30 hari”
Hadits tersebut merupakan dalil atas wajibnya siyam Ramadhan karena melihat hilal dan berbuka pada 1 Syawal karena melihat hilal pula. Dhahir hadits ini mensyaratkan semua orang untuk melihat hilal tetapi Ijma’ tidak mensyaratkan yang demikian akan tetapi cukup dengan 1 atau 2 orang yang melihat.
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ itu bermakna apabila ada seseorang yang telah mendapati hilal di suatu Negara, maka itu berlaku untuk semua penduduk Negara tersebut.
Dalam masalah ini terdapat banyak pendapat yang tidak memiliki dalil yang jelas. Namun pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah keharusan bagi suatu negeri untuk melihat hilal dan segala sesuatu yang berhubungan dengan ru’yatul hilal itu dari berbagai arah yang sudah disiapkan.
لرؤيته sebagai dalil yang menunjukkan bahwa apabila ada satu orang yang melihat hilal maka ia wajib siyam setelah melihatnya pada awal Ramadhan dan berbuka pada awal Syawal. Ini menurut tokoh-tokoh ‘ulama Syi’ah dan 4 ‘ulama madzhab (Syafi’I, Maliki, Ahmad, Hanafi) tetapi mereka berselisih pandapat dalam hal berbuka pada awal syawal, yaitu:
a. Syafi’ie berbuka tetapi menyembunyikan berbukanya.
b. Menurut kebanyakan ‘ulama melanjutkan siyam karena sikap kehati-hatian
Perbedaan pendapat tersebut karena ada perkataan Ibnu Abbas kepada Karib bahwa beliau tidak percaya dengn penglihatan hilal sewaktu berada di Syam akan beliau menyesuaikan dengan penduduk madinah sehingga beliau siyam 31 hari dilihat dari ru’yatul hilal di Syam karena 31 hari di Syam itu masuk 30 hari di Madinah. Ibnu Abbas mengatakan bahwa cara semacam itu termasuk sunnah.
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ ثَلَاثِينَ bermakna perintah berbuka (tidak siyam) pada hari ke-30 dan memperkirakan bulan itu sempurna, ini menurut kebanyakan penafsir. Namun tetap terdapat ikhtilaf ‘ulama karena mereka menyimpang dari makna dhahir, diantaranya adalah:
a. Ibnu Bathal: hadits tersebut mengandung larangan untuk memperhatikan pendapat ahli bintang, ia hanya memperhatikan ru’yatul hilal saja.
b. Al-Bajiy: Ia menolak pendapat orang yang membolehkan bagi ahli hisab, ahli bintang dan selain keduanya untuk siyam dan berbuka siyam hanya berdasarkan pada perhitungan bintang saja. Ia mengatakan bahwa pendapat ‘ulama salaf dapat dijadikan sebagai alasan untuk membantah pendapat mereka itu. Dan Ibnu Bazizah berkata bahwa itu termasuk madzhab yang bathil. Syari’at telah melarang tenggelam pada ilmu nujum karena ilmu tersebut adalah dugaan dan tebakan saja dan tidak qath’ie (pasti).
Dan pendapat yang kuat adalah:
عن ابن عمر أنه صلى صلى الله عليه وسلم قال: "إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني تسعا وعشرين مرة وثلاثين مرة"
Artinya: Dari Ibnu Umar ra bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda:”Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummy, tak dapat menulis dan menghitung bulan demikian atau demikian yaitu 29 hari atau 30 hari” (HR. Bukhori)
-611وَلَهُ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - " فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ "
Artinya: dan sepeti hadits diatas pula dalam hadits Abu Hurairah ra:“Maka sempurnakanlah oleh kalian akan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”
Hadits ini menunjukkan penjelasan pada bahwa perintah siyam karena melihat hilal, sedangkan dalam suatu riwayat disebutkan apabila mendung maka disempurnakan menjadi 30 hari bulan Sya’ban. Hadits-hadits yang tersebut diatas merupakan nash bahwa “tidak ada siyam dan berbuka kecuali dengan melihat hilal atau menyempurnakan 30 hari”
Hadits 612
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: " تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ " رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ .
Artinya: Dan dari Ibnu Umar r.a berkata: “Manusia telah melihat hilal, lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa aku telah melihat (hilal) Maka Nabi berpuasa dan memerintahkan kepada manusia untuk puasa” (HR. Abu Daud, dan telah dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim)
Hadits ini merupakan dalil atas:
a. Bolehnya mengamalkan kabar satu orang adil dalam ketetapan masuknya 1 Ramadhan, ini merupakan pendapat satu kelompok.
b. Sedangkan pendapat madzahab-madzhab lain mengharuskan 2 orang yang mengkabarkan karena itu adalah sebuah persaksian dan mereka mengambil dalil hadits riwayat Nasa’i
عن عبد الرحمن بن زيد بن الخطاب أنه قال جالست أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وسألتهم وحدثوني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما إلا أن يشهد شاهدان"
Mafhumnya hadits (yang difahami dari hadits): tidak cukup seorang,
Tetapi hadits tersebut dibantah dengan mafhum dan manthuq hadits ibnu Amr dan hadits orang Arab yang lebih kuat yang akan dijelaskan nanti. Dan hadits ini menunjukkan pada penerimaan kabar satu orang walaupun perempuan maupun budak.
Dan adapun hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar:
"أنه صلى الله عليه وسلم أجاز خبر واحد على هلال رمضان وكان لا يجيزشهادة الإفطار إلا بشهادة رجلين"
Itu merupakan hadits yang lemah merupakan Daruquthniy. Dan Hafsha bin Umar Al-Aili meriwayatkan sendiri sedangkan ia termasuk orang yang dha’if.
Ini menunjukkan diterimanya kabar masuknya bulan Ramadhan dan Syawal dari satu orang.
Orang yang berhak mengumumkan Awal Ramadhan
-613وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: " إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: " أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: " أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: " فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا" " رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ.
Artinya: Dan dari Ibnu Abbas r.a bahwasannya seorang Arab telah datang kepada Nabi SAW lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah melihat hilal” lalu Nabi menjawab: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah?” Ia pun menjawab: “Ya” lalu Nabi menjawab: “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah?” ia pun menjawab: “Ya” lalu Nabi bersabda: “Wahai Bilal, umumkan pada manusia agar esok mereka berpuasa”. (HR.Al-Khomsah, Dan telah dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan telah diperkuat oleh an-Nasa’ie pada karyanya)
Pada hadits diatas, terdapat dalil seperti hadits sebelumnya tentang informasi siyam Ramadhan karena melihat hilal dari 2 orang. Dasar hukumnya adalah karena melihat hilal bukan karena syahadatnya, sedangkan syahadat adalah penegas untuk menunjukkan bahwa orang yang melihat hilal itu termasuk orang yang jujur atau tidak. Karena pada dasarnya orang muslim itu adalah orang-orang yang adil.
Niat
Hadits 614
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ اَلْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: " مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ " رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَمَالَ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ إِلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ, وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ: " لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنَ اَللَّيْلِ ".
Artinya: Dan dari Hafshah ‘Ummul mukminin’ r.a, dari nabi SAW bersabda: “barangsiapa belum mengerjakan (niat) diwaktu malam sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya” (HR. Al-Khamsah. An-Nas’I dan At-Tirmidzy lebih condong untuk me’mauquf’kan hadits ini dan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban telah menshahihkan karena ‘marfu’.)
Dan menurut riwayat Daruquthny: “Tidak ada siyam bagi orang yang tidak meniatkan fardhu pada malam hari”
Yang diperselisihkan oleh para Imam adalah apakah hadits ini marfu’ atau mauquf. Abu Muhammad bin Hazm mengatakan bahwa perselisihan didalamnya akan menguatkan hadits ini karena perawi yang meriwayatkan secara marfu’ juga meriwayatkan secara mauquf. Dan Ath-Thabrani dalam riwayat yang lain mengatakan bahwa semua perawinya tsiqah.
Hadits ini menunjukkan pada wajibnya berniat pada malam hari, pada semua waktu dimalam hari yang dimulai setelah maghrib. Hal ini dikarenakan siyam adalah amal dan setiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan bagian-bagian siang tidak terpisah dari malam dengan suatu pemisah yang jelas sehingga tidak akan jelas pemisahan antara keduanya kecuali niat itu dilaksanakan pada bagian malam. Dan niat disyaratkan setiap hari, ini merupakan pendapat yang terkenal dalam madzhab Imam Ahmad. Tetapi Imam Ahmad juga memiliki pendapat bahwa apabila seseorang berniat sekali pada awal bulan sekaligus maka sah siyamnya. Orang yang menguatkan pendapat ini adalah Ibnu ‘Aqil ra. karena hadits "لكل امريء ما نوى" sedang ia telah berniat sekaligus pada awal bulan karena ia menganggap bahwa siyam Ramadhan adalah satu ibadah, sebab berbuka pada malam hari termasuk ibadah karena dapat membantu siyamnya disiang hari. Dan ia menerangkan dalil-dalilnya dengan panjang lebar yang menunjukkan pada kuatnya pendapat ini.
Dan hadits ini bersifat umum untuk siyam fardhu’, sunnah, qadha’, nadzar baik secara mu’ayyan maupun muthlaq. Dan didalamnya terdapat perbedaan pendapat dan perinciannya dibawah ini.
Tidak wajib niat pada malam hari menurut hadits Bukhori:
"أنه صلى الله عليه وسلم بعث رجلا ينادي في الناس يوم عاشوراء أن من أكل فليتم أو فليصم ومن لم يأكل فلا يأكل"
Mereka berkata bahwa siyam ‘Asyura itu wajib, tetapi kewajiban itu dihapuskan dengan siyam Ramadhan. Dan pembatalan kewajiban itu tidak membatalkan semua hukum lainnya. Lalu masalah niat dan siyam lain selain ramadhan yang sama hukumnya diqiyaskan pada siyam Ramadhan seperti siyam nadzar dan siyam sunnah. Lalu ditakhsiskan keumuman فلا صيام له dengan qiyas. Dan ditakhsiskan dengan hadits ‘Aisyah yang akan dijelaskan nanti yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW siyam sunnah tanpa niat pada malam hari. Akan tetapi pendapat ini dibantah karena siyam ‘Asyura tidak sama dengan siyam Ramadhan, sehingga tidak boleh diqiyaskan dengannya. Sesungguhnya Nabi SAW hanya mengharuskan siyam pada orang yang telah makan dan orang yang belum makan. Berdasarkan itu maka dapat diketahui bahwa itu dalam masalah khusus. Karena hanya siyam ‘Asyura yang sah tanpa penetapan niat pada malam hari, karena ada halangan. Lalu diqiyaskan padanya siyam-siyam lain, seperti orang yang tidur hingga shubuh maka baginya tidak wajib pengekangan baginya, tetapi jika ia siyam maka siyamnya sah. Adapun haditsnya ‘Aisyah adalah sebagai berikut:
-615وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: " دَخَلَ عَلَيَّ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - ذَاتَ يَوْمٍ. فَقَالَ: " هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ? " قُلْنَا: لَا. قَالَ: " فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ " ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ, فَقُلْنَا: أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ, فَقَالَ: " أَرِينِيهِ, فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا " فَأَكَلَ " رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: Dan dari ‘Aisyah r.a berkata: “Nabi SAW pernah masuk padaku pada suatu malam, lalu ia bersabda: “Apakah kalian memiliki sesuatu?” maka kami menjawab: “tidak” Nabi pun bersabda: “maka sesungguhnya aku termasuk orang yang siyam” kemudian beliau datang pada kami lagi pada hari yang lain, lalu kami berkata: “kami telah diberi hadiah kurma” maka Nabi pun berkata: “Tunjukkan padaku akan kurma itu, maka sungguh pagi ini aku termasuk orang yang berpuasa” lalu belia makan”.(HR. Muslim)
حَيْسٌ adalah kurma yang dilekati minyak dan keju. Hadits ini lebih umum dari penetapan niat siyam pada hadits terdahulu. Dan tidak ada pemisahan antara siyam fardhu, sunnah, qadha, dan nadzar.
Perintah Ta’jil
-616وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: " لَا يَزَالُ اَلنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا اَلْفِطْرَ " مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dan dari Sahl bin Sa’id r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Manusia masih dalam kebaikan selama ia menyegerakan berbuka” (Muttafaq ‘alaih)
Sahl bin Sa’id adalah Abu Al-Abbas Sahl bin Sa’id bin Malik Anshary Khazrajy. Dikatakan bahwa namanya adalah Haznan (sedih) lalu Nabi menamainya dengan Sahlan (mudah). Ketika Nabi meninggal, umurnya baru 15 tahun, dan beliau meninggal pada usia 91 th/88 th (terdapat perbedaan pendapat), beliau termasuk sahabat yang terakhir meninggal di Madinah.
Hadits diatas merupakan dalil atas anjuran ta’jil ifthar apabila telah terbenam matahari atau telah adzan (mendengar kabar dari orang yang boleh dikerjakan perkataannya). Dan ta’jil merupakan perbuatan yang menyelisihi kaum nashrani dan yahudi.
Al-Muhlab berkata: “dan hikmah pada yang demikian itu (adalah) siang tidak ditambah dengan malam karena sesungguhnya ta’jil itu lebih mudah bagi orang yang shiyam dan lebih kuat untuk beribadah”.
Imam Syafi’ie juga berkata: “ta’jil ifthar itu dianjurkan dan tidak makruh ta’khirnya kecuali bagi bagi orang yang menyengaja dan menganggap hal tersebut sebagai keutamaan”
Muhammad bin Isma’il (pengarang Subulussalam) berkata: “………”
- 617وللترمذي من حديث أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "قال الله عز وجل: أحب عبادي إلي أعجلهم فطرا"
Artinya: Dan dalam riwayat Timidzi dari Hadits Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda: Allah SWT berfirman: “Paling cintanya hambaKu padaKu itu yang paling bersegera dalam berbuka”
Hadits diatas merupakan dalil bahwa ta’jil (bersegera) dalam berbuka itu lebih disenangi Allah SWT daripada ta’khir (mengakhirkan). Dan wishol hingga sahur tidak lebih utama dari ta’jil, sedangkan perbuatan Nabi dalam wishal tersebut adalah suatu kekhususan baginya karena beliau itu tak serupa dengan manusia pada umumnya.
Perintah Sahur
-618وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - " تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي اَلسَّحُورِ بَرَكَةً " مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: dan dari Anas bin Malik r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sahurlah kalian karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah” (Muttafaq ‘alaihi)
Imam Ahmad telah menambahkan dari hadits Abu Sa’id:
فلا تدعوه ولو أن يتجرع أحدكم جرعة من ماء ، فإن الله وملائكته يصلون على المتسحرين
Artinya: “Janganlah kalian meninggalkan sahur (hanya dengan) meminum seteguk air karena sesungguhnya Allah SWT dan malaikatNya akan mendo’akan orang-orang yang sahur.”
Sesuai dhohir hadits diatas, sahur adalah wajib, namun berubah hukum menjadi Sunnah menurut Ibnu Al-Mundir dalam ijma’. Dan didalam sahur terdapat barakah, diantaranya adalah:
a. Mengikuti sunnah,
b. Menyeelisihi ahli kitab,
c. Menguatkan diri dalam beribadah,
d. Menambah semangat, dan
e. Termasuk sedekah bagi orang orang yang meminta makan pada waktu sahur.
Makanan Utama Ta’jil
-619وَعَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ اَلضَّبِّيِّ - رضي الله عنه - عَنِ اَلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: " إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ, فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ, فَإِنَّهُ طَهُورٌ " رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
Artinya: Dan dari Salman bin ‘Amir ra., dari Nabi SAW bersabda: “Apabila salah seorang diantaramu telah berbuka maka hendaklah ia berbuka atas kurma, maka jika tidak ada maka hendaklah ia berbuka atas air karena sesungguhnya dia itu mensucikan” (HR. Al-Khamsah, dan telah dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Nasa’I dan Tirmidzi dari Anas:
كَانَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَعَلَى تَمَرَاتٍ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Artinya: “Rasulullah SAW berbuka dengan kurma (basah) sebelum sholat, jika tidak ada maka berbuka dengan kurma (kering) jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air.”
Dan dalam riwayat lain juga disebutkan jumlah kurma yang dimakan adalah 3 buah.
Hadits diatas menunjukkan bahwa berbuka dengan makanan yang disebutkan dalam hadits (seperti: kurma, air) adalah SUNNAH.
Ibnu Qayyim menyatakan bahwa hal ini adalah salah satu kasih sayang Nabi SAW pada ummatnya. Jika seorang yang telah seharian shiyam sehingga perut kosong dan berbuka dengan sesuatu yang manis maka akan bermanfaat memberi kekuatan terutama kekuatan mata sehingga tidak mengantuk. Selain perut kosong, seorang yang shiyam juga akan kering hatinya sehingga jika ia meminum air putih maka air tersebut dapat bermanfaat untuk membasahi organ tubuh sehingga alat pencernaan dapat bekerja secara maksimal. Dan menurut dokter hati, kurma (makanan yang manis) dan air dapat mempengaruhi kebaikan hati.

untuk lebih faham,, lihat KITAB SUBULUSSALAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...