Sabtu, 25 Februari 2012

Melangkah untuk Dakwah

TELLING STORY...
Sekilas Perjalan Dakwahku...
Muballigh Hijrah (MH) adalah moment yang sangat tepat untuk berbagi ilmu dan mencari pengalaman bermasyarakat bagi para thalabah dan thalibah PUTM. Dari tahun pertama tercatat sebagai thalibah disana hingga kini tahun ketiga, sudah 3 kali aku MH dengan berbagai tantangan yang berbeda karena kondisi antropologis, sosiologis, psikologis, dan geografis yang berbeda. MH di PUTM ini bukanlah MH pertama bagiku karena MH perdanaku ketika aku tercatat sebagai siswi kelas IV di Mu’llimaat, tapi pengalaman MH di PUTM lebih menantang karena hanya ditugaskan ber-2 atau bahkan sendiri di tempat yang asing.
Kawan, dalam tulisan ini aku ingin menceritakan sebuah pengalaman berharga dari 3 kali MH ketika aku di PUTM. Ada kesan tersendiri yang sangat mendalam dari perjalanan dakwah ketika MH yang nantinya akan dikaitkan dengan materi yang dipelajari di kelas tentang hambatan berkomunikasi.
MH pertamaku di Demangan, jalan Pleret, Bantul. Sungguh, aku masih terlalu lugu dalam bermasyarakat. Mengapa begitu?? Aku katakan begitu karena aku tak faham sistematika memasuki masyarakat baru. Awal aku diantar kerumah yang harus aku tempati, aku hanya diam seribu bahasa jika tuan rumah tak mengajakku berbicara. Aku belum memiliki mental pemberani untuk sekedar bercengkrama, sampai-sampai aku rela menahan lapar hanya karena malu untuk bertanya atau sekedar menyapa. Tapi aku tak sendiri, aku ditemani rekan ikhwan dari UAD yang saat itu telah semester atas. Tapi hubungan dengan masyarakat memang masih kurang, karena sejak datang ke lokasi MH, kami tak pernah meminta izin kepada kepala dusun atas keberadaan kami berdakwah di dusunnya. Aku hanya menyampaikannya pada takmir masjid tempat aku bertugas.
Dakwah kami hanya terbatasi sekali yakni pada masjid-masjid yang berlabel Muhammadiyah saja. Itu saja masih menimbulkan masalah yakni pada awal-awal aku mengikuti taraweh di masjid yang lain, kami terasa asing bahkan tak diharapkan. Ada seorang warga yang menanyaiku begini “mba ngapain disini?”. Pertanyaan ini memang mengagetkanku, tapi aku mencoba untuk slow saja saat menjawab karena aku disini juga belum diperkenalkan oleh pengurus masjid. Awal-awal memang canggung tapi lama-kelamaan mulai dapat membaur dengan jama’ah.
Permasalahan yang belum dapat aku tangani adalah sulitnya komunikasi dengan para remaja. Pernah suatu kali aku bersama rekanku dan pengurus masjid mengundang remaja untuk membahas masalah TPA, tapi yang muncul hanya satu dua orang yang memang sudah biasa mengurusi padahal mereka semua adalah orang yang sibuk. Hmm... hanya desahan nafas yang kutunjukkan disana. Prihatin rasanya ketika melihat anak-anak begitu semangat untuk mengaji tapi yang mengajar hanya kami dari peserta MH. Kekhawatiran terbesarku adalah TPA ini akan hilang dengan selesainya masa MH kami.
Pada tahun ke-2, aku MH di Ngrame, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Aku tak lagi katakan sebagai muballigh hijrah tapi muballigh muqim karena tempat tinggalku juga di asrama seperti biasa. Dan aku hanya bertugas untuk menjadi fasilitator dalam membina anak-anak. Kali ini, aku ditemani oleh rekan ikhwan pula dari PUTM putra. Tapi lagi-lagi, kami belum dapat membaur ke masyarakat. Bukan karena faktor bahasa, tapi mungkin karena kami juga kurang dekat dan membuka diri kepada masyarakat.
Permasalahan kali ini bukan lagi pada remaja, namun pada anak-anak TPA. Aku mengira karena di Ngrame adalah daerah pinggiran kota yang lumayan sudah berkembang, pergaulan anak-anak dengan media informatika pun sudah nampak. Mereka adalah anak-anak yang super aktif. Strategi kami dalam mengajar adalah dengan membagi kelas putra dan putri sehingga aku memegang santriwati di luar masjid, sedang rekanku bersama dengan santriwan di dalam masjid. Banyak hal yang menjadi penghambat dalam pengajaran anak-anak disana. Karena anak-anak itu baru kumpul di masjid seperti itu pada bulan Ramadlan saja. Jadi bukan sebenernya bukanlah mengajar TPA tapi membimbing takjilan. Diantara kendalanya adalah sedikitnya pembimbing, terbatasnya media komunikasi seperti mikrofon, dan masih kurangnya kreatifitas kami dalam memberikan materi pengajaran, serta kurang adanya kerjasama dari para remaja yang lain yang mengikuti takjilan. Dalam pembimbingan tersebut pastilah ada target yang harus dicapai. Namun saat itu kami merasa masih sangat jauh dari target (tujuan) karena keterbatasan kami dalam membimbing dan waktu pun yang harus memisahkan.
Pada Ramadhan tahun ketiga ini, aku ditugaskan di Ngondel Kulon, Krambil sawit, Saptosari, Gunung Kidul. MH kali ini, aku kebetulan mendapat jatah sendiri. Namun dari satu kecamatan Saptosari kami ber-5 sehingga jika ada masalah pun kami dapat saling memberi solusi. Dengan pengalaman 2 kali MH yang belum dapat bermasyarakat dengan baik, pada bulan-bulan sebelumnya kebetulan aku telah mendapatkan mata kuliah metodologi dakwah sehingga pada saat itu aku sudah memiliki sedikit gambaran tentang langkahku dalam berdakwah disana.
Awal aku menginjakkan kaki di desa Krambil sawit, aku merasa asing sekali. Dengan kultur masyarakat yang santun, aku beserta rekan-rekanku disuguhi dengan minuman dan makanan ringan di masjid An-Nadziir. Mulai saat itu aku berniat untuk berdakwah disana harus dengan sungguh-sungguh, karena ini adalah saat terakhir MH di PUTM. Awalnya kami ber-3 di satu tempat, namun pada sore harinya aku diputuskan untuk di masjid An-Nadziir, dan 2 orang temanku di masjid lain yang letaknya cukup jauh.
Aku mulai susun rencana untuk dapat memahami keadaan masyarakat di sana. Diantara hal yang aku rencanakan adalah mengunjungi rumah bapak kepala dusun, mendatangi tokoh-tokoh agama, mendatangi rumah teman-teman remaja dan memahami alam lingkungan sekitar desa Krambil sawit. Dan dalam perjalanannya, rencana itu membawakan hasil yang memuaskan karena dengan itu aku sedikit faham akan keadaan disana. Aku pun dapat diterima ditengah masyarakat dan teman-teman remaja dan anak-anak. Aku sangat bersyukur dengan keadaan demikian, namun aku belum dapat membaca makanan yang pas untuk dapat diberikan kepada masyarakat disana. Awalnya aku pernah bertanya kepada tokoh agama, dan beliau berpesan agar aku menyampaikan sejarah Nabi namun aku sedikit ragu dengan kemampuan sejarahku sehingga aku pun mencari materi aqidah terlebih dahulu.
Masyarakat disana masih sangat kental dengan kebudayaan Jawa. Disana masih diadakan upacara-upacara yang terikat waktu seperti kenduren saat panen dengan menyembelih ingkung yang nantinya ada yang dibagikan ke warga, ada pula yang dijadikan sebagai sesaji di pohon-pohon besar, dan tempat yang dianggap keramat. Tradisi lain yang masih marak dilakukan adalah yasinan dan tahlilan untuk peringatan kematian seseorang. Karena itulah, aku ingin memberikan materi aqidah, diantaranya tentang syirik. Hanya sekali penyampaian, esoknya aku tak lagi mengisi kajian. Hal ini disebabkan karena aku berseberangan dengan keadaan masyarakat tersebut. Namun lambat laun, aku diperbolehkan lagi untuk menyampaikan kultum, sehingga aku pun mencari materi yang tak kontroversial dalam masyarakat dan jalan tengahnya aku menyampaikan materi tentang hubungan sesama muslim, do’a-do’a sehari-hari (akhlak sehari-hari) dan kewajiban membayar zakat. Alhamdulillah, aku dapat menyampaikan materi itu dengan cukup leluasa karena aku diminta untuk menggunakan bahasa daerahku (Purwokerto), walaupun ada beberapa yang berbeda makna tpi akhirnya aku pun dapat memahamkan maksud yang sebenarnya sehingga tak terjadi miss comunicaty.
Dakwah memang butuh strategi yang mapan untuk menyampaikan materi-materi syari’ah yang tak hanya satu pendapat. Kebetulan di Ngondel Kulon ini, ada sedikit perseteruan diantara tokoh agama. Ada seorang tokoh ternama yang mengikuti faham MTA padahal awalnya ia adalah tokoh Muhammadiyah, sehingga masyarakat pun cukup terkaget saat mendengarkan pernyataan beliau telah berbeda dalam Muhammadiyah. Misalnya saja, pak MTA (yang dulunya Muhammadiyah tapi sekarang ngajinya di MTA) sampaikan ceramah bahwa “dalam shalat itu tidak ada nawaitu yang disebutkan sebelum shalat. Tahlilan itu haram”. Menurutku, ajaran yang ia bawa justru adalah ajaran pengikut nabi Muhammad SAW (Muhammadiyah) namun aku memandang bahwa dakwah Muhammadiyah disana masih dalam tahap “sedikit-sedikit mengubah” sehingga jika pada saat itu para tokoh belum menyampaikan masalah tersebut (yang kini menjadi kontroversi) maka wajar warga masyarakat yang Muhammadiyah menjadi kaget dengan ajaran-ajaran yang mereka anggap asing. Selain MTA dan Muhammadiyah, di desa krambil sawit juga terkenal dengan aliran LDII. Pernah pada suatu hari, aku ditanya oleh seorang anak SD “mba tu islamnya apa? Muhammadiyah/ MTA/ LDII?” Aku tak dapat menjelaskan padanya, hingga aku hanya diam menanggapi pertanyaan semacam itu. Karena pada hakekatnya, islam itu satu agama dan hanya berbeda pemahaman saja.
Selain masalah diatas, masih ada masalah lain yang menurutku juga sebuah kendala yang sangat kompleks. Sedikit sekali tokoh agama disana, padahal masyarakat disana adalah masyarakat yang kejawen. Terlebih lagi, sebenarnya banyak generasi muda yang ingin mengabdi jadi guru mengaji tapi kebutuhan ekonomi mereka sangat kurang sehingga menuntut mereka untuk bekerja diluar daerah. Dan akhirnya yang tertinggal hanyalah beberapa orang saja, itupun masih perlu banyak bimbingan bacaan al-Qur’an dan bimbingan akhlak. Kendalaku, aku belum bisa menyatu dengan baik alias “satu hati satu rasa”dengan mereka sehingga terkadang masih banyak pro kontra.
Kawan, banyak hal yang telah aku ceritakan disini. Kini tiba saatnya aku menarik benang merah antara permasalah yang ada dalam dakwah dengan teori tentang hambatan dalam berkomunikasi.
1. Hambatan Psikologis, baik pada komunikator (seperti kurang PD, kurang ilmu, kurang strategi yang matang, dll) maupun pada komunikan (seperti masyarakat telah memiliki mind set yang berbeda dengan ajaran Islam/ ajaran yang turun temurun itu sudah mendarah daging). Mungkin lebih tepatnya jika hambatan psikologis komunikator itu dimasukkan pada hambatan
2. Hambatan antropologis dan sosiologis, karena aku tinggal di asrama yang (bisa dibilang) eksklusif (menutup diri) dari masyarakat. Keadaan di asrama itu homogen, berbeda dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya.
3. Hambatan mekanis, karena suara terbatas maka dibutuhkan mikrofon yang bagus.
Mungkin itu kawan yang bisa kuungkapkan lewat tulisan ini. Jika kutuliskan semua hambatanku ditakutkan akan berubah menjadi sebuah novel muballighat hijrah, jadi kucukupkan sekian saja ya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...